Senin, 25 November 2013

Pengaruh Budaya Modern dalam Masyarakat

Perkembangan arus globalisasi saat ini telah menimbulkan pengaruh terhadap perkembangan budaya bangsa Indonesia, terkhusunya di Kota Makassar. Derasnya arus informasi dan telekomunikasi ternyata menimbulkan sebuah kecenderungan yang mengarah terhadap memudarnya nilai-nilai pelestarian budaya. Perkembangan transportasi, telekomunikasi dan teknologi mengakibatkan berkurangnya keinginan untuk melestarikan budaya daerah sendiri . Budaya Indonesia yang dulunya ramah-tamah, gotong royong dan sopan berganti dengan budaya barat, misalnya pergaulan bebas. 20 tahun yang lalu di Makassar, anak-anak remajanya masih banyak yang berminat untuk belajar tari tradisional Makassar dan kecapi (alat musik ke empat etnis di Sul-Sel). Saat ini, ketika teknologi semakin maju, ironisnya kebudayaan-kebudayaan daerah tersebut semakin lenyap di masyarakat, bahkan hanya dapat disaksikan di televisi dan acara-acara khusus dan kebiasaan remajanya lebih suka main band, clubbing daripada belajar budaya tradisional. Padahal kebudayaan-kebudayaan daerah tersebut, bila dikelola dengan baik selain dapat menjadi pariwisata budaya yang menghasilkan pendapatan untuk pemerintah baik pusat maupun daerah, juga dapat menjadi lahan pekerjaan yang menjanjikan bagi masyarakat sekitarnya.

Hal lain yang merupakan pengaruh globalisasi adalah dalam pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar (bahasa juga salah satu budaya bangsa). Sudah lazim di Indonesia untuk menyebut orang kedua tunggal dengan Bapak, Ibu, Pak, Bu, Saudara, Anda dibandingkan dengan kau atau kamu sebagai pertimbangan nilai rasa. Sekarang ada kecenderungan di kalangan anak muda yang lebih suka menggunakan bahasa Indonesia dialek Jakarta seperti penyebutan kata gue (saya) dan lu (kamu). Selain itu kita sering dengar anak muda mengunakan bahasa Indonesia dengan dicampur-campur bahasa inggris seperti OK, No problem dan Yes’, bahkan kata-kata makian sekalipun yang sering kita dengar di film-film barat, sering diucapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kata-kata ini disebarkan melalui media TV dalam film-film, iklan dan sinetron bersamaan dengan disebarkannya gaya hidup dan fashion. Gaya berpakaian remaja Indonesia yang dulunya menjunjung tinggi norma kesopanan telah berubah mengikuti perkembangan jaman. Ada kecenderungan bagi remaja putri di kota-kota besar memakai pakaian minim dan ketat yang memamerkan bagian tubuh tertentu. Budaya perpakaian minim ini dianut dari film-film dan majalah-majalah luar negeri yang ditransformasikan kedalam sinetron-sinetron Indonesia. Derasnya arus informasi, yang juga ditandai dengan hadirnya internet, turut serta `menyumbang` bagi perubahan cara berpakaian. Pakaian mini dan ketat telah menjadi trend dilingkungan anak muda. Salah satu keberhasilan penyebaran kebudayaan Barat ialah meluasnya anggapan bahwa ilmu dan teknologi yang berkembang di Barat merupakan suatu yang universal. Masuknya budaya barat (dalam kemasan ilmu dan teknologi) diterima dengan `baik`. Pada sisi inilah globalisasi telah merasuki berbagai sistem nilai sosial dan budaya Timur (termasuk Indonesia ) sehingga terbuka pula konflik nilai antara teknologi dan nilai-nilai ketimuran yang semakin hari semakin terkikis oleh budaya barat.

Globalisasi mempunyai dampak yang besar terhadap budaya. Kontak budaya melalui media massa menyadarkan dan memberikan informasi tentang keberadaan nilai-nilai budaya lain yang berbeda dari yang dimiliki dan dikenal selama ini. Kontak budaya ini memberikan masukan yang penting bagi perubahan-perubahan dan pengembangan-pengembangan nilai-nilai dan persepsi dikalangan masyarakat yang terlibat dalam proses ini. Kesenian bangsa Indonesia yang memiliki kekuatan etnis dari berbagai macam daerah juga tidak dapat lepas dari pengaruh kontak budaya ini. Sehingga untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap perubahan-perubahan diperlukan pengembangan-pengembangan yang bersifat global namun tetap bercirikan kekuatan lokal atau etnis. Globalisasi budaya yang begitu pesat harus diantisipasi dengan memperkuat identitas kebudayaan nasional. Berbagai kesenian tradisional yang sesungguhnya menjadi aset kekayaan kebudayaan nasional jangan sampai hanya menjadi alat atau slogan para pemegang kebijaksanaan, khususnya pemerintah, dalam rangka keperluan turisme, politik dsb. Selama ini pembinaan dan pengembangan kesenian tradisional yang dilakukan lembaga pemerintah masih sebatas pada unsur formalitas belaka, tanpa menyentuh esensi kehidupan kesenian yang bersangkutan. Akibatnya, kesenian tradisional tersebut bukannya berkembang dan lestari, namun justru semakin dijauhi masyarakat. Dengan demikian, tantangan yang dihadapi oleh kesenian rakyat cukup berat. Karena pada era teknologi dan komunikasi yang sangat canggih dan modern ini masyarakat dihadapkan kepada banyaknya alternatif sebagai pilihan, baik dalam menentukan kualitas maupun selera. Hal ini sangat memungkinkan keberadaan dan eksistensi kesenian rakyat dapat dipandang dengan sebelah mata oleh masyarakat, jika dibandingkan dengan kesenian modern yang merupakan imbas dari budaya pop, rock and roll dan disco.

Untuk menghadapi hal-hal tersebut di atas ada beberapa alternatif untuk mengatasinya, yaitu meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM ) bagi para seniman rakyat. Selain itu, mengembalikan peran aparat pemerintah sebagai pengayom dan pelindung, dan bukan sebaliknya justru menghancurkannya demi kekuasaan dan pembangunan yang berorientasi pada dana-dana proyek atau dana-dana untuk pembangunan dalam bidang ekonomi saja seperti yang sering terjadi saat sekarang ini yang memperjual belikan budaya bangsa.

Cerita Rakyat Suku Makassar

Rupama atau cerita rakyat Makassar yang berkembang secara lisan di tengah masyarakat pendukungnya telah diabadikan dan disusun menjadi sebuah buku oleh Zainuddin Hakim. Kumpulan cerita itu hanya merupakan sebagian kecil dari jumlah cerita yang tersebar secara lisan di Makassar. Dalam kumpulan ini penyusun mengelompokkan cerita rakyat itu menjadi dua jenis, yakni cerita kepercayaan dan cerita binatang. Berikut ini akan dikemukakan judul cerita tersebut.

Kumpulan ceritera kepercayaan terdiri atas :

  1. Cerita Pung Tedong (Kerbau) Bersama Tiga Orang Putra Raja;
  2. Sebab Musabah Ikan Hiu Tidak Dimakan (Dalam Satu Keluarga);
  3. I Kukang;
  4. Kisah Percintaan;
  5. Ceritera Musang Berjanggut;
  6. Kisah Orang yang Tujuh Anaknya;
  7. Dua Orang Bersahabat;
  8. Orang yang Durhaka kepada Orang Tuanya;
  9. Kisah Tinuluk;
  10. Dua Orang Bersaudara.
Kumpulan cerita bintang terdiri atas :
  1. Cerita Pelanduk dan Buaya;
  2. Ceritera Buaya dengan Kerbau;
  3. Monyet dengan Kura-kura;
  4. Kisah Rusa dengan Kura-Kura;
  5. Kisah Pelanduk dengan Macan.
Rupama atau ceritera rakyat tersebut berfungsi sebagai hiburan dan sebagai sarana pendidikan bagi anak-anak. Dalam ceritera itu (sebagai ceritera lisan) terlukis curahan perasaan yang disampaikan dengan sangat indah oleh penuturnya kepada pendengar. Selain itu perilaku manusia yang terdapat dalam rupama merupakan cerminan sikap, pandangan hidup dan cita-cita masyarakat pendukungnya. Ceritera rakyat tersebut tidak hanya diungkapkan dalam bentuk sastra lisan, tetapi juga dalam bentuk tulisan yang berwujud naskah. Ceritera yang disajikan dalam bentuk tulisan memiliki nilai dan bobot yang lebih baik daripada yang disajikan dalam bentuk lisan.

Contoh cerita rakyat Suku Makassar :
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 
LLAPONG DAREK-DAREK SIAGANG LAPONG KURA-KURA
Niak rua olok-olok riolo assahabak, iami antu pong Darek siagang pong Kura-kura. Na anjo ia rua tenamo kamma singaina, kere-kere mae simata siaganna.
Niakmo sekre wattu naccarik-carita ia rua ri birinna binangaya. Nasitujuang tonngi anjo wattua battui banjirik iareka akba lompoa, na tikring niakmamo batang unti ammanyuk, na anjo batang untia sumpaeng taenapa nalekba akrappo. Assamaturukni ia rua erok anggallei anjo batang untia na nampa nalamung. Na anjo pong Darek nallemi cappakna nasabak niakmo nacinik lekokna, naia tosseng pong Kura-kura batanna tosseng nalle.
Apaji napara ammoterekmo mange ri pammantanganna na nampa masing mange nalamuang untinna ri butta cocoka nipaklamungi unti. Na anjo sumpaleng massing lekbakna na lamung untinna sallo sikali nampa sibuntuluk pole, mingka passarikbattanganna ia rua kamma lekbakji biasa.
Niaki kira-kira rua bulang sallona na nampa sibuntuluk pole, namassing sikutaknang ri passalakna unti lekbaka nalamung. Akkutanammi pong Kura-kura ri pong Darek angkanaya, “Anggapami antu mae unti lekbaka nulamung, sarikbattang?” Nakanamo pong Darek, “Ai, tena harapang sarikbattang, pakrisiki atingku anciniki nasabak tenan aerok aklekok, tena naerok assuluk bombanna, matei sarikbattang.”
Nakana tommo pong Kura-kura, “Untingku sarikbattang, bajikmangkaji bakkak-bakkakna, kira-kira akbirimmi assuluk buana.”  Akkimburumi pong Darek ri pong Kura-kura allangereki caritanna i Kura-kura, nasabak akbirinnamo akbua untinna.
Lekbaki massing accarita kamma anjo, massing ammoterekmi mange ri tampakna ngaseng. Niakmo sekre allo nasigappa seng pole. Na anjo wattua akbua tommi untinna pong Kura-kura, siagang jai tommi tiknok i rate ri pokokna. Erok tommi nakanre untinna pong Kura-kura natena nakulle, nasabak tena nakulle natakbang, tena tong nakulle anngambik. Naia naciniknamo anjo sumpaleng untia tenamo kamma rannuna pong Darek, nasabak kasampatang bajikmonne annganre unti sannge bassorokku, untinna pong Kura-kura.
Ninyonyokmi sangge nyonyok pong Kura-kura sanggenna naambik anjo untinna pong Kura-kura. Na anjo sumpaleng pong Kura-kura tena narapiki nawa-nawanna angkanaya eroki nipakdongok-dongok ri pong Darek, nasabak napikkiriki angkanaya sahabakku tonji. Na anjo pong Kura-kura anngambiknama naik pong Darek ammantang tonji i rawa ammempo bajik-bajik antajangi nubuanginna naung unti ri pong Darek.
Naia toseng anjo, pong Darek battunamo naik ri rapponna untia, nallemi tassekre-tassekre kaminang bajika tiknokna nanampa tojeng, punna niak tukguruk ulina mami, tenamo assinna. Iaminjo pole kulik untia pilak ampakacinna-cinnai atinna pong Kura-kura. Apaji nappalak tommo pong Kura-kura ri sahabakna, mingka pong Darek tena napaduli pila annganre tojenji naik. Nasabak takliwaknamo bassorokna pong Darek annganre tojengnati, akjambammi pong Darek nabajik lekbak natabana naung pong Kura-kura ulunna, eroki naewa assibakji mallak tongi.
Apaji napakkulle-kulleimi pong Kura-kura naunga ri birinna binangaya ambissai ulunna. Lekbaki kamma anjo, battuang kana nabissai ulunna napassami sikayua naika aklokok ri biring kassika, na naallemo na naerang naik. Battui naik ri pokok untia napalolokmi naik sikuyua ri batang untia. Naanjo lapong sikuyu naasseng tongi angkanaya parallui anne nitulung pong Kura-kura nasabak takliwak-liwakmi panggaukanna pong Darek.
Na anjo sumpaleng pong Darek nalanngerekna niak akgarek-garese akkuknna ri pong Kura-kura angkanaya, “O sarikbattang, anngapa na niak kulanngerek aklolok-lolok marak-maraeng.” Appibalimi pong Kura-kura angkana, “Caccakji lari naik ammaklallaki ancinikko annganre attattai unti.”
Natena tong siapa sallona lappasakna bicaranna pong Kura-kura, tikring ammarrang lompo mami pong Darek i rate ri pokok untia, nasabak nisipiki butona ri anjo sikuyua. Nasanbak liwakna pakrisikna nasakring natenamo naukrangi lappasak pannakgalakna sanggenna tukguruk naung ri buttaya. Ri wattu tukguruknamo anjo pong Darek tenamo naingak sanggenna mate. Na anjo pong Kura-kura siagang lapong sikuyu massing ammoterek tommi mange ri pammantanganna. Matemi pong Darek natena kuburukna.
Kammaminjo caritana pong kura-kura siagang pong Darek matei pong Darek napakamma kabalalang.

MONYET DAN KURA-KURA
Pada zaman dahulu kala ada dua ekor binatang bersahabat kental yaitu monyet dan kura-kura. Kedua binatang itu sangat akrab. Ke mana saja mereka pergi, selalu bersama-sama.
Pada suatu ketika kedua binatang itu duduk di tepi sungai yang kebetulan sedang banjir besar. Sementara merka berbincang-bincang, ada batang pisang yang hanyut terbawa banjir. Batang pisang itu belump pernah berbuah dan kelihatannya masih muda. Bersepakatlah mereka berdua mengambil batang pisang itu untuk ditanam. Si monyet menginginkan bagian di atas karena dislihat sudah banyak daunnya. Pikir si monyet tentu lekas berbuah. Kemudian kura-kura mengambil bagian yang di bawah. Setelah itu pulanglah mereka ke tempatnya masing-masing menanam batang pisangnya.
Sesudah  mereka menanam batang pisang agak lama baru mereka bertemu kembali, tetapi tali persahabatannya tetap seperti biasa. Kira-kira berselang 2 bulan kemudian baru mereka bertemu lagi.
Ketika itu bertanyalah kura-kura kepada sahabatnya, “bagaimana keadaan pisang yang kamu tanam tempo hari sahabat?”
Dijawab oleh si monyet, “pisang yang saya tanam itu, tidak mau keluar pucuknya, bahkan daun-daunnya tambah kering.”
Si kura-kura pun menceritakan keadaan pisangnya yang ditanamnya kira-kira dua bulan yang lalu. Ia menceritakan bahwa pisangnya itu tumbuh dengan subur dan tidak lama lagi pisang itu akan berbuah. Mendengar cerita si kura-kura itu, timbullah perasaan tidak senang, cemburu terhadap si kura-kura sahabatnya itu. Setelah mereka selesai berbincang-bincang tentang keadaan pisang mereka masing-masing, mereka pun kembali ke tempatnya.
Pada suatu ketika bertemulah mereka kembali. Kura-kura menyampaikan kepada si monyet bahwa pisangnya yang tempo hari diperbincangkan itu sekarang sudah berbuah dan sudah masak, tetapi ia belum menikmati hasilnya karena pohon pisang itu akan ditebangnya, ia tidak sanggup, mau dipanjatnya, ia pun tidak bisa.
Bergembiralah si monyet dalam hatinya, “Wah, ini kesempatan baik untuk makan pisang temanku si kura-kura sampai kenyang.”
Karena si monyet membujuk-bujuk si kura-kura, akhirnya ia pun berhasih, kemudian dipanjatlah pohon pisang itu. Si kura-kura dengan tenang menunggunya di bawah pohon. Ia sebenarnya tidak pernah memikirkan bahwa akan diperbodoh-bodohi oleh temannya sendiri yang selama ini dikenalnya baik, yaitu si monyet.
Ketika si monyet sampai di puncak pohon pisang itu, ia mengambil buah yang sudah masak kemudian dimakan sendiri. Kulitnya dilemparkan ke bawah, si kura-kura mendongkol karena tidak pernah diberikan barang sebiji pun. Si monyet makan terus di atas pohon. Karena terlalu kekenyangan akhirnya si monyet berak di atas pohon dan persis kena kepala si kura-kura. Bertambah jengkellah si kura-kura kepada sahabatnya si monyet.
Si kura-kura dengan susah payah turun ke sungai mencuci kepalanya. Di sungai ia minta tolong kepada seekor kepiting untuk menggigit kemaluan si monyet karena ia diperbodohkan. Si kepiting berpendapat bahwa memang kura-kura pantas ditolong dari perbuatan dan tingkah laku si monyet yang keterlaluan itu. Naiklah mereka ke darat bersama-sama. Sesampainya di dekat pohon pisang disuruhnya kepiting memanjat pohon pisang itu.
Si monyet bertanya kepada kura-kura, “Hai sahabat, mengapa ada yang saya dengar bunyi yang agak lain?”
Kura-kura menjawab, “itu cecak saja yang lari tertawa-tawa karena melihat kamu makan terberak-berak.”
Belum selesai si kura-kura berkata demikian, tiba-tiba berteriaklah si monyet, “Aduh, aduh, sakitnya kemaluanku digigit kepiting.”
Karena tidak tahan sakitnya akhirnya si monyet jatuh ke bawah. Ketika jatuh si monyet ia tidak sadarkan diri lagi dan matilah pada saat itu.
Kembalilah si kura-kura dan kepiting ke tempatnya masing-masing, dan mampuslah si monyet karena rakusnya.

Balla Lompoa - Rumah Adat Makassar

Balla lompoa adalah rumah adat Makassar/Gowa, Sulawesi Selatan, Indonesia. Sebelum dialihfungsikan sebagai Museum Balla Lompoa, rumah ini dulunya merupakan sebuah istanah yang dibangun pada tahun 1936 oleh Raja ke-35 yaitu Andi Mangimangi yang berkuasa pada tahun 1906-1946. Sekarang tempat ini juga berfungsi sebagai objek wisata sejarah yang menarik untuk dikunjungi.

Rumah adat Makassar memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan rumah panggung dari suku lain di Indonesia. Bentuknya memanjang ke belakang, dengan tambahan di samping bangunan utama dan bagian depan (Paladang).

Inilah bagian-bagian dari Rumah adat Makassar itu :
  • Tiang utama (benteng). Biasanya terdiri dari 4 batang setiap barisnya. Jumlahnya tergantung jumlah ruangan yang akan dibuat tetapi pada umumnya, terdiri dari 3/4 baris benteng. Jadi, totalnya ada 12 batang benteng.
  • Pallangga yaitu bagian yang berfungsi sebagai penyambung dari benteng di setiap barisnya.
  • Panjakkala yaitu bagian yang berfungsi sebagai pengait paling atas dari Benteng palind tengah tiap barisnya.
  • Pamakkang adalah bagian di atas langit - langit (eternit). Dahulu biasanya digunakan untuk menyimpan padi yang baru dipanen.
  • Kalle Balla adalah bagian tengah rumah dimana kita tinggal. Pada kale balla ini, ada titik sentral yang bernama pusat rumah (pocci balla).
  • Passiringang adalah bagian di bawah rumah, antara lantai rumah dengan tanah.

Balla Lompoa
 Balla Lompoa
 Balla Lompoa
 Balla Lompoa Makassar

Sosial Kemasyarakatan

  • Bahasa 

    Bahasa yang umum digunakan adalah : 

    • Bahasa Makassar adalah salah satu rumpun bahasa yang dipertuturkan di daerah Makassar dan Sekitarnya.
    • Bahasa Bugis adalah salah satu rumpun bahasa yang dipertuturkan di daerah Bone sampai ke Kabupaten Pinrang, Sinjai, Barru, Pangkep, Maros, Kota Pare Pare, Sidrap, Wajo, Soppeng Sampai di daerah Enrekang, bahasa ini adalah bahasa yang paling banyak di pakai oleh masyarakat Sulawesi Selatan.
    • Bahasa Pettae adalah salah satu bahasa yang dipertuturkan di daerah Tana Luwu, mulai dari Siwa,Kabupaten Wajo, Enrekang Duri, sampai ke Kolaka Utara,Sulawesi Tenggara.
    • Toraja adalah salah satu rumpun bahasa yang dipertuturkan di daerah Kabupaten Tana Toraja dan sekitarnya.
    • Bahasa Mandar adalah bahasa suku Mandar, yang tinggal di provinsi Sulawesi Barat, tepatnya di Kabupaten Mamuju, Polewali Mandar, Majene dan Mamuju Utara. Di samping di wilayah-wilayah inti suku ini, mereka juga tersebar di pesisir Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.
    • Bahasa Duriadalah salah satu rumpun bahasa Austronesia di Sulawesi Selatan yang masuk dalam kelompok dialek Massenrempulu. Di antara kelompok Bahasa Massenremplu, Bahasa Duri memilki kedekatan dengan bahasa Toraja dan bahasa Tae' Luwu. Penuturnya tersebar di wilayah utara Gunung Bambapuang, Kabupaten Enrekang sampai wilayah perbatasan Tana Toraja.
    • Bahasa Konjo terbagi menjadi dua yaitu Bahasa Konjo pesisir dan Bahasa Konjo Pegunungan, Konjo Pesisir tinggal di kawasan pesisir Bulukumba dan Sekitarnya, di sudut tenggara bagian selatan pulau Sulawesi sedangkan Konjo pegunungan tinggal di kawasan tenggara gunung Bawakaraeng.
  • Agama 

    Mayoritas beragama Islam, kecuali di Kabupaten Tana Toraja dan sebagian wilayah lainnya beragama Kristen.
  • Budaya dan Adat Istiadat 

    Salah satu kebiasaan yang cukup dikenal di Sulawesi Selatan adalah Mappalili. Mappalili (Bugis) atau Appalili (Makassar) berasal dari kata palili yang memiliki makna untuk menjaga tanaman padi dari sesuatu yang akan mengganggu atau menghancurkannya. Mappalili atau Appalili adalah ritual turun-temurun yang dipegang oleh masyarakat Sulawesi Selatan, masyarakat dari Kabupaten Pangkep terutama Mappalili adalah bagian dari budaya yang sudah diselenggarakan sejak beberapa tahun lalu. Mappalili adalah tanda untuk mulai menanam padi. Tujuannya adalah untuk daerah kosong yang akan ditanam, disalipuri (Bugis) atau dilebbu (Makassar) atau disimpan dari gangguan yang biasanya mengurangi produksi.
  • Jumlah penduduk

    Sampai dengan Mei 2010, jumlah penduduk di Sulawesi Selatan terdaftar sebanyak 8.032.551 jiwa dengan pembagian 3.921.543 orang laki-laki dan 4.111.008 orang perempuan.

Sejarah Kota Makassar

Awal Kota dan bandar makassar berada di muara sungai Tallo dengan pelabuhan niaga kecil di wilayah itu pada penghujung abad XV. Sumber-sumber Portugis memberitakan, bahwa bandar Tallo itu awalnya berada dibawah Kerajaan Siang di sekitar Pangkajene, akan tetapi pada pertengahan abad XVI, Tallo bersatu dengan sebuah kerajaan kecil lainnya yang bernama Gowa, dan mulai melepaskan diri dari kerajaan Siang, yang bahkan menyerang dan menaklukan kerajaan-kerajaan sekitarnya. Akibat semakin intensifnya kegiatan pertanian di hulu sungai Tallo, mengakibatkan pendangkalan sungai Tallo, sehingga bandarnya dipindahkan ke muara sungai Jeneberang, disinilah terjadi pembangunan kekuasaan kawasan istana oleh para ningrat Gowa-Tallo yang kemudian membangun pertahanan benteng Somba Opu, yang untuk selanjutnya seratus tahun kemudian menjadi wilayah inti Kota Makassar.
 
Pada masa pemerintahan Raja Gowa XVI ini didirikan pula Benteng Rotterdam di bagian utara, Pemerintahan Kerajaan masih dibawah kekuasaan Kerajaan Gowa, pada masa itu terjadi peningkatan aktifitas pada sektor perdagangan lokal, regional dan Internasional, sektor politik serta sektor pembangunan fisik oleh kerajaan. Masa ini merupakan puncak kejayaan Kerajaan Gowa, namun selanjutnya dengan adanya perjanjian Bungaya menghantarkan Kerajaan Gowa pada awal keruntuhan. Komoditi ekspor utama Makassar adalah beras, yang dapat ditukar dengan rempah-rempah di Maluku maupun barang-barang manufaktur asal Timur Tengah, India dan Cina di Nusantara Barat. Dari laporan Saudagar Portugal maupun catatan-catatan lontara setempat, diketahui bahwa peranan penting Saudagar Melayu dalam perdagangannya yang berdasarkan pertukaran surplus pertanian dengan barang-barang impor itu. Dengan menaklukkan kerajaan¬kerajaan kecil disekitarnya, yang pada umumnya berbasis agraris pula, maka Makassar meningkatkan produksi komoditi itu dengan berarti, bahkan, dalam menyerang kerajaan-kerajaan kecil tainnya, para ningrat Makassar bukan hanya menguasai kawasan pertanian lawan-tawannya itu, akan tetapi berusaha pula untuk membujuk dan memaksa para saudagar setempat agar berpindah ke Makassar, sehingga kegiatan perdagangan semakin terkonsentrasi di bandar niaga baru itu.
 
Dalam hanya seabad saja, Makassar menjadi salah satu kota niaga terkemuka dunia yang dihuni lebih 100.000 orang (dan dengan ini termasuk ke-20 kota terbesar dunia Pada zaman itu jumlah penduduk Amsterdam, kota terbesar musuh utamanya, Belanda, baru mencapai sekitar 60.000 orang) yang bersifat kosmopolitan dan multikultural. Perkembangan bandar Makasar yang demikian pesat itu, berkat hubungannya dengan perubahan¬-perubahan pada tatanan perdagangan internasional masa itu. Pusat utama jaringan perdagangan di Malaka, ditaklukkan oleh Portugal pada tahun 1511, demikian di Jawa Utara semakin berkurang mengikuti kekalahan armada lautnya di tangan Portugal dan pengkotak-kotakan dengan kerajaan Mataram. Bahkan ketika Malaka diambil-alih oleh Kompeni Dagang Belanda VOC pada tahun 1641, sekian banyak pedagang Portugis ikut berpindah ke Makassar.
 
Sampai pada pertengahan pertama abad ke-17, Makassar berupaya merentangkan kekuasaannya ke sebagian besar Indonesia Timur dengan menaklukkan Pulau Selayar dan sekitarnya, kerajaan-kerajaan Wolio di Buton, Bima di Sumbawa, Banggai dan Gorontalo di Sulawesi bagian Timur dan Utara serta mengadakan perjanjian dengan kerajaan-kerajaan di Seram dan pulau-pulau lain di Maluku. Secara internasional, sebagai salah satu bagian penting dalam Dunia Islam, Sultan Makassar menjalin hubungan perdagangan dan diplomatik yang erat dengan kerajaan¬-kerajaan Banten dan Aceh di Indonesia Barat, Golconda di India dan Kekaisaran Otoman di Timur Tengah.

Hubungan Makassar dengan Dunia Islam diawali dengan kehadiran Abdul Ma'mur Khatib Tunggal atau Dato' Ri Bandang yang berasal dari Minangkabau Sumatera Barat yang tiba di Tallo (sekarang Makassar) pada bulan September 1605. Beliau mengislamkan Raja Gowa ke-XIV I¬MANGNGARANGI DAENG MANRABIA dengan gelar SULTAN ALAUDDIN (memerintah 1593-1639), dan dengan Mangkubumi I- MALLINGKAANG DAENG
MANYONRI KARAENG KATANGKA yang juga sebagai Raja Tallo. Kedua raja ini, yang mulai memeluk Agama Islam di Sulawesi Selatan. Pada tanggal 9
Nopember 1607, tepatnya hari Jum’at, diadakanlah sembahyang Jum’at pertama di Mesjid Tallo dan dinyatakan secara resmi penduduk Kerajaan Gowa-Tallo tetah memeluk Agama Islam, pada waktu bersamaan pula, diadakan sembahyang Jum’at di Mesjid Mangallekana di Somba Opu. Tanggal inilah yang selanjutnya diperingati sebagai hari jadi kota Makassar sejak tahun 2000, yang sebelumnya hari jadi kota Makassar jatuh pada tanggal 1 April.
 
Para ningrat Makassar dan rakyatnya dengan giat ikut dalam jaringan perdagangan internasional, dan interaksi dengan komunitas kota yang kosmopolitan itu me¬nyebabkan sebuah "creative renaissance" yang menjadikan Bandar Makassar salah satu pusat ilmu pengetahuan terdepan pada zamannya. Koleksi buku dan peta, sesuatu yang pada zaman itu masih langkah di Eropa, yang terkumpul di Makassar, konon merupakan salah satu perpustakaan ilmiah terbesar di dunia, dan para sultan tak segan-segan memesan barang-barang paling mutakhir dari seluruh pelosok bumi, termasuk bola dunia dan teropong terbesar pada waktunya, yang dipesan secara khusus
dari Eropa. Ambisi para pemimpin Kerajaan Gowa-Tallo untuk semakin memper-luas wilayah kekuasaan serta persaingan Bandar Makassar dengan Kompeni Dagang Belanda VOC berakhir dengan perang paling dahsyat dan sengit yang pernah dijalankan Kompeni. Pasukan Bugis, Belanda dan sekutunya dari Ternate, Buton dan Maluku memerlukan tiga tahun operasi militer di seluruh kawasan Indonesia Timur. Baru pada tahun 1669, akhirnya dapat merata-tanahkan kota Makassar dan benteng terbesarnya, Somba Opu.
 
Bagi Sulawesi Selatan, kejatuhan Makassar di tangan federasi itu merupakan sebuah titik balik yang berarti Bandar Niaga Makassar menjadi wilayah kekuasaan VOC, dan beberapa pasal perjanjian perdamaian membatasi dengan ketat kegiatan pelayaran antar-pulau Gowa-Tallo dan sekutunya. Pelabuhan Makassar ditutup bagi pedagang asing, sehingga komunitas saudagar hijrah ke pelabuhan-pelabuhan lain.
Pada beberapa dekade pertama setelah pemusnahan kota dan bandar Makassar, penduduk yang tersisa membangun sebuah pemukiman baru di sebelah utara bekas Benteng Ujung Pandang; benteng pertahanan pinggir utara kota lama itu pada tahun 1673
ditata ulang oleh VOC sebagai pusat pertahanan dan pemerintahan dan diberi nama barunya Fort Rotterdam, dan 'kota baru' yang mulai tumbuh di sekelilingnya itu dinamakan 'Vlaardingen'. Pemukiman itu jauh lebih kecil daripada Kota Raya Makassar yang telah dihancurkan. Pada dekade pertama seusai perang, seluruh kawasan itu dihuni tidak lebih 2.000 jiwa; pada pertengahan abad ke-18 jumlah itu meningkat menjadi sekitar 5.000 orang, setengah di antaranya sebagai budak.
 
Selama dikuasai VOC, Makassar menjadi sebuah kota yang tertupakan. “Jan Kompeni” maupun para penjajah kolonial pada abad ke-19 itu tak mampu menaklukkan jazirah Sulawesi Selatan yang sampai awal abad ke-20 masih terdiri dari selusinan kerajaan kecil yang independen dari pemerintahan asing, bahkan sering harus mempertahankan diri terhadap serangan militer yang ditancurkan kerajaan-kerajaan itu. Maka, 'Kota Kompeni' itu hanya berfungsi sebagai pos pengamanan di jalur utara perdagangan rempah-rempah tanpa hinterland - bentuknya pun bukan 'bentuk kota', tetapi suatu aglomerasi kampung-kampung di pesisir pantai sekeliling Fort Rotterdam.
Pada awalnya, kegiatan perdagangan utama di beras Bandar Dunia ini adalah pemasaran budak serta menyuplai beras kepada kapal¬kapal VOC yang menukarkannya dengan rempah-rempah di Maluku. Pada tahun 30-an di abad ke-18, pelabuhan Makassar dibuka bagi kapal-kapal dagang Cina. Komoditi yang dicari para saudagar Tionghoa di Sulawesi, pada umumnya berupa hasil laut dan hutan seperti teripang, sisik penyu, kulit kerang, sarang burung dan kayu cendana, sehingga tidak dianggap sebagai langganan dan persaingan bagi monopoli jual-beli rempah-rempah dan kain yang didirikan VOC.
 
Sebaliknya, barang dagangan Cina, Terutama porselen dan kain sutera, dijual para saudagarnya dengan harga yang lebih murah di Makassar daripada yang bisa didapat oleh pedagang asing di Negeri Cina sendiri. Adanya pasaran baru itu, mendorong kembali aktivitas maritim penduduk kota dan kawasan Makassar. Terutama penduduk pulau-pulau di kawasan Spermonde mulai menspesialisasikan diri sebagai pencari teripang, komoditi utama yang dicari para pedagang Cina, dengan menjelajahi seluruh Kawasan Timur Nusantara untuk men¬carinya; bahkan, sejak pertengahan abad ke-18 para
nelayan-pelaut Sulawesi secara rutin berlayar hingga pantai utara Australia, di mana mereka tiga sampai empat bulan lamanya membuka puluhan lokasi pengolahan teripang. Sampai sekarang, hasil laut masih merupakan salah satu mata pencaharian utama bagi penduduk pulau-pulau dalam wilayah Kota Makassar.
Setetah Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menggantikan kompeni perdagangan VOC yang bangkrut pada akhir abad ke-18, Makassar dihidupkan kembali dengan menjadikannya sebagai pelabuhan bebas pada tahun 1846. Tahun-tahun berikutnya menyaksikan kenaikan volume perdagangan yang pesat, dan kota Makassar berkembang dari sebuah pelabuhan backwater menjadi kembali suatu bandar internasional.
Dengan semakin berputarnya roda perekonornian Makassar, jumlah penduduknya meningkat dari sekitar 15.000 penduduk pada pertengahan abad ke-19 menjadi kurang lebih 30.000 jiwa pada awal abad berikutnya. Makassar abad ke-19 itu dijuluki "kota kecil terindah di seluruh Hindia-Belanda" (Joseph Conrad, seorang penulis Inggris-Potandia terkenal),dan menjadi salah satu port of call utama bagi baik para pelaut-pedagang Eropa, India dan Arab dalam pemburuan hasil-hasil hutan yang amat laku di pasaran dunia maupun perahu-perahu pribumi yang beroperasi di antara Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.
 
Pada awal abad ke-20, Belanda akhirnya menaklukkan daerah¬daerah independen di Sulawesi, Makassar dijadikan sebagai pusat pemerintahan kolonial Indonesia Timur. Tiga-setengah dasawarsa Neerlandica, kedamaian di bawah pemerintahan kolonial itu adalah masa tanpa perang paling lama yang pernah dialami Sulawesi Selatan, dan sebagai akibat ekonominya berkembang dengan pesat. Penduduk Makassar dalam kurun waktu itu meningkat sebanyak tiga kali lipat, dan wilayah kota diperluas ke semua penjuru. Dideklarasikan sebagai Kota Madya pada tahun 1906, Makassar tahun 1920-an adalah kota besar kedua di luar Jawa yang membanggakan dirinya dengan sembilan perwakilan asing, sederetan panjang toko di tengah kota yang menjual barang-barang mutakhir dari seluruh dunia dan kehidupan sosial-budaya yang dinamis dan kosmopolitan.
Perang Dunia Kedua dan pendirian Republik Indo¬nesia sekali lagi mengubah wajah Makassar. Hengkangnya sebagian besar warga asingnya pada tahun 1949 dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing pada akhir tahun 1950-an menjadi¬kannya kembali sebuah kota provinsi. Bahkan, sifat asli Makassar-pun semakin menghilang dengan kedatangan warga baru dari daerah-daerah pedalaman yang berusaha menyelamatkan diri dari kekacauan akibat berbagai pergolakan pasca¬ revolusi. Antara tahun 1930-an sampai tahun 1961 jumlah penduduk meningkat dari kurang lebih 90.000 jiwa menjadi hampir 400.000 orang, lebih daripada setengahnya pendatang baru dari wilayah luar kota. Hal ini dicerminkan dalam penggantian nama kota menjadi Ujung Pandang berdasarkan julukan ”Jumpandang” yang selama berabad-abad lamanya menandai Kota Makassar bagi orang pedalaman pada tahun 1971. Baru pada tahun 1999 kota ini dinamakan kembali Makassar, tepatnya 13 Oktober berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 1999 Nama Ujung Pandang dikembalikan menjadi Kota Makassar dan sesuai Undang-Undang Pemerintahan Daerah luas wilayah bertambah kurang lebih 4 mil kearah laut 10.000 Ha, menjadi 175.77 km